Minggu, 26 September 2010

Asistensi 1: Alternatif desain brosur (2)

Alternatif 4: Brosur limited edition untuk pameran.
Konsep: Perbaikan dari alternatif 2. Brosur yang bisa di-display menjadi bentuk segi lima (tampak atas).
Brosur ini akan membahas tentang jurusan Desain Produk Industri dan penjelasan tiap-tiap prodi, serta disertai juga oleh foto dokumentasi kegiatan perkuliahan di kampus, aktivitas mahasiswa, pameran, dll. Sedangkan untuk bentuk segi lima itu hanya untuk mempermudah display.

Photobucket

Alternatif 5: Brosur berupa gantungan kunci.
Konsep: Brosur berukuran 12x9 cm, terdiri dari 3 lembar yang kemudian dapat digunakan untuk gantungan kunci. Karena ukurannya kecil, informasi tentang jurusan/prodi yg disampaikan singkat, namun jelas dan padat.

Photobucket

Sabtu, 25 September 2010

Asistensi 1: Alternatif desain brosur

Alternatif 1: Brosur limited edition untuk pameran.
Konsep: Seperti yang kemarin (Kamis, 23 September) Mas Dikky usulkan tentang brosur 'edisi spesial'. Saya membuatnya seperti mading.

Photobucket


Alternatif 2: Brosur limited edition untuk pameran.
Konsep: Brosur yang bisa di-display menjadi bentuk segi lima (tampak atas). Kelima brosur ini masing-masing membahas keempat prodi (DKV, Produk, Interior, dan Animasi) dan Despro secara keseluruhan.

Photobucket


Alternatif 3: Brosur biasa.
Konsep: Brosur dengan lima folding. Bagian 'pintu' bisa dibuka dan memperlihatkan profil jurusan (Desain Produk Industri).

Photobucket

Selasa, 14 September 2010

18 College Brochure Design and Print Examples

A college brochure is effective if it sets prospective students’ minds at ease. Given that these youth are making an important decision about their future by choosing a college or university to spend years in, a college brochure design should judiciously present all the information they will ever need, as clearly and helpfully as possible.

Speaking these students’ language, both in brochure content and design, helps significantly.

If you’re in the process of building a brochure for your educational institution, here are 18 choice examples of college brochure designs to get ideas from. If you know any other great examples of college brochures, we’d love it if you could share them with us in the comments!

College Brochure Printed Design Samples


College Brochure Design - Central Saint Martins
College Brochure Design - L3 Communications
College Brochure Design - Winthrop University Art and Design
College Brochure Design - Kingston University
College Brochure Design - South Staffordshire College
College Brochure Design - FAUTL rchitecture College of Lisbon Technical University
College Brochure Design - Harper Adams University College Mini Guide
College Brochure Design - Johan Cruyff College
College Brochure Design - Eckerd College Family Weekend Collateral
College Brochure Design - Connecticut College Academic Brochure
College Brochure Design - POrtobello Institute Brochure Pack
College Brochure Design - Explore Program Brochure
College Brochure Design - Wellesley College Orientation Series
College Brochure Design - Career Development Brochure
College Brochure Design - Compaq College Recruiting
College Brochure Design - Indiana University Varsity Club Brochure
College Brochure Design - Mississippi University for Women
College Brochure Design - NCSU College of Education
Source: blog.uprinting.com

Pengertian Audiovisual Menurut KBBI

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
  • Audio: au·dio 1 a bersifat dapat didengar; 2 n alat peraga yg bersifat dapat didengar, misal radio.
  • Visual: vi·su·al a dapat dilihat dng indra penglihat (mata); berdasarkan penglihatan: bentuk -- sebuah metode pengajaran bahasa; mem·vi·su·al·kan v menjadikan suatu konsep dapat dilihat dng indra penglihatan.
  • Audiovisual: au·di·o·vi·su·al 1 a bersifat dapat didengar dan dilihat; 2 n alat peraga bersifat dapat didengar dan dilihat, spt film.

Sabtu, 11 September 2010

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1997
TENTANG
PENYIARAN

UMUM

Penyiaran melalui media komunikasi massa elektronik dengan kelebihan dan keunggulannya yang dapat mengatasi ruang dan waktu dalam bentuk dengar atau audio dan pandang dengar atau audiovisual serta grafis dan teks harus mampu melaksanakan peranan aktif dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Oleh karena itu, bersama-sama media massa lainnya, penyiaran harus ditingkatkan kemampuannya melalui pembangunan yang diarahkan untuk semakin meningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam semua aspek kehidupan bangsa, sehingga semakin meningkatkan kesadaran rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, rnemperkuat persaman dan kesatuan bangsa, memperkukuh ketahanan nasional, dan memelihara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, sejalan dengan dinamika pembangunan dan kemajuan teknologi.

Dengan kemampuan yang terus-menerus ditingkatkan dan dibina sesuai dengan arahan tersebut di atas, penyiaran memiliki kedudukan yang penting dan strategis dalam memotivasi pendapat dan kehendak masyarakat ke arah hal-hal yang positif agar berperan serta secara aktif dalam setiap tahap pembangunan nasional yang meliputi pula pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Sementara itu, kemajuan teknologi penyiaran yang berkembang dengan cepat menyebabkan landasan hukum pembinaan dan pengembangan penyiaran yang ada selama ini sudah tidak memadai lagi, baik karena tingkat peraturan yang mengaturnya lebih rendah daripada undang-undang maupun karena ruang lingkup pengaturannya baru meliputi segi-segi tertentu dalam kegiatan penyiaran dengan pengaturan yang belum terpadu.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sebagai landasan pengaturan dan pembinaan penyelenggaraan penyiaran serta untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dan ditaatinya Kode Etik Siaran, diperlukan Undang-undang tentang Penyiaran.

Pengaturan penyiaran dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

1. Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai landasan filosofis, konstitusional, dan operasional merupakan panduan dalam menumbuhkan, membina dan mengembangkan penyiaran di Indonesia sehingga sebagai media komunikasi massa, penyiaran menjadi sarana efektif untuk perjuangan bangsa, penjalin persatuan dan kesatuan bangsa, sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan dan pelestarian budaya bangsa, sarana informasi dan penerangan, pendidikan, dan hiburan yang sehat, serta penyalur pendapat umum dan penggerak peran serta masyarakat dalam pembangunan.

2. Penyiaran memiliki nilai strategic sehingga perlu dikuasai oleh negara. Untuk itu, penyiaran perlu dibina dan dikendalikan dengan sebaik-baiknya.

3. Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang merupakan sumber daya alam yang terbatas, sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien bagi sebesar-besamya kepentingan nasional.

4. Sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam pembangunan, selain Pemerintah, masyarakat dapat menyelenggarakan penyiaran dan wajib mendukung pertumbuhan dan perkembangan penyiaran.

5. Penyiaran yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sistem penyiaran nasional.

6. Pembinaan penyiaran diarahkan pada terciptanya siaran yang berkualitas dan mampu menyerap sera merefleksikan aspirasi masyarakat yang positif dan beraneka ragam, serta meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai-nilai budaya asing.

7. Untuk mewujudkan iklim yang sehat bagi penyelenggaraan penyiaran, pembinaan dan pengembangan penyiaran dilaksana secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu mata rantai yang bersinambungan sejalan dengan dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyelenggaraan penyiaran.

8. Untuk mencegah perbuatan melawan hukum yang mungkin timbul dari penyelenggaraan penyiaran, pelanggaran terhadap ketentuan di dalam Undang-undang ini dikenal sanksi.

Bertitik tolak dari pokok-pokok pikiran sebagaimana tersebut di atas, dalam Undang-undang ini terutama diatur hal-hal yang bersifat mendasar, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Undang-Undang Penyiaran: Bab 11 s/d 12

UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 77

1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala segala peraturan pelaksanaan di bidang penyiaran yang berlaku serta badan atau lembaga yang telah ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarakan Undang-undang ini.

2. Lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan Undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini.

3. Dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini, Pemerintah harus sudah mengubah atau menyesuaikan organisasi Lembaga Penyiaran Pemerintah dan lembaga atau unit yang berkaitan dengan penyiaran di lingkungan Departemen Penerangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.


UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 78

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengudangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Rapublik Indonesia.


Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 29 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

S O E H A R T O




Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 29 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

M O E R D I O N O


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 72

Undang-Undang Penyiaran: Bab 10

UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB X
SANKSI ADMNISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA



Bagian Pertama 
Sanksi Administratif

Pasal 63

1. Pemerintah mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1); Pasal 12 ayat (2); Pasal 13 ayat (1); Pasal 13 ayat (2); Pasal 13 ayat (3); Pasal 14; Pasal 16 ayat (3); Pasal 17 ayat (4); Pasal 17 ayat (5); Pasal 22 ayat (1), jo. Pasal 11 ayat (3); Pasal 22 ayat (1), jo. Pasal 12 ayat (1); Pasal 22 (1), jo. Pasal 12 ayat (2); Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1); Pasal 22 ayat (1), jo.Pasal 13 ayat (2); Pasal 22 ayat (1), jo. Pasal 13 ayat (3); Pasal 22 ayat (1), jo. Pasal 14; Pasal 22 ayat (1), jo. Pasal 17 ayat (4), jo. Pasal 17 ayat (5); Pasal 22 ayat (2); Psal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (3); Pasal 24 auat (1); Pasal 24 ayat (2); Pasal 25; Pasal 27 ayat (3); Pasal 27 ayat (4); Pasal 27 ayat (6); Pasal 30 ayat (3); Pasal 31 ayat (1); Pasal 32 ayat (1); Pasal 32 ayat (2); Pasal 32 ayat (4); Pasal 32 ayat (5); Pasal 33; Pasal 34 ayat (3); Pasal 34 ayat (4); Pasal 34 ayat (5); Pasal 35 ayat (1); Pasal 35 ayat (3); Pasal 38 ayat (2); Pasal 39 ayat (1); Pasal 39 ayat (2); Pasal 40 ayat (2); Pasal 40 ayat (3); Pasal 40 ayat (4) Pasal 42 ayat (1); Pasal 42 ayat (7); Pasal 42 ayat (8); Pasal 43; Pasal 46 ayat (1); Pasal 46 ayat (2); Pasal 47 ayat (5); Pasal 48 ayat (1); Pasal 48 ayat (2); Pasal 50 ayat (2) huruf b; Pasal 51 ayat (1); Pasal 51 ayat (2); Pasal 52 ayat (1); Pasal 52 ayat (2); Pasal 54 ayat (1); atau Pasal 58 ayat (1) Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan pelayanan administrasi tertentu;
c. pembatasan kegiatan siaran;
d. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;
e. pencabutan izin penyelengara penyiaran.

3. Dalam pengenaan sanksi administratif sengaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e, Pemerintah mempertimbangkan pertimbangan BP3N.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Ketentuan Pidana

Pasal 64

Dipidana denga pidana penjara paling lama 7 Tujuh tahun atau denda paling banyak Rp 700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) :

a. barangsiapa denga sengaja menyiarkan melalui radio, televisi atau media elektronik lainnya hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa, atau memuat hal-hal yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa, sabagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (9); atau

b. barangsiapa denga sengaja menyiarakan rekaman musik dan lagu-lagu dengan lirik yang mengungkapkan pornografi dan hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkanmartabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-hal yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sebagimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b.

Pasal 65

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7), dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 66

Barangsiapa denga sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin aebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 67

Barangsiapa dengan sengaja mendirikan Lembaga Penyiaran Asing di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama (10) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 68

1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) :

a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 20 huruf c, jo. Pasal 21.

2. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) :
a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran berlangganan melalui pemancaran telestrial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran yang khusus untuk disalurkan ke saluran radio atau televisi berlangganan atau ke penyelenggara penyiaranuntuk menjadi bagian dari siaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d, jo. Pasal 21;
c. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyalurkan siaran melalui satelit denga 1 (satu) saluran atau lebih, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf f, jo. Pasal 21;
d. barangsiapa denga sengaja tanpa izin menyalurkan siaran dalam lingkungan terbatas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf g, jo. Pasal 21;
e. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menelnggarakan jasa audiovisual berdasarkan permintaan, sebgaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf h, jo. Pasal 21;
f. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi multimedia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf k, jo. Pasal 21.

3. Dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) :
a. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa audiovisual secara terbatas di lingkungan terbuka, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e, jo. Pasal 21;
b. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi suara dengan teks, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf i, jo. Pasal 21;
c. barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan jasa layanan informasi gambar dengan teks, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf j, jo. Pasal 21.

4. Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap barangsiapa dengan sengaja tanpa izin menyelenggarakan siaran khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf f, jo. Pasal 20, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

Barangsiapa dengan sengaja memindahtangankan izin penyelenggaraan penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 70

Barangsiapa tanpa izin melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dan/atau kegiatan jurnalistik asing di Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 71

Barangsiapa tanpa izin melakukan kerja sama pemancaran siaran dengan lembaga penyiaran asing di luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua raus juta rupiah).

Pasal 72

Barang siapa tanpa izin menggunakan perangkat khusus penerima siaran untuk tujuan komersial, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 73

Barangsiapa menyiarakan iklan niaga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 74

Barangsiapa menyiarakan iklan niaga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 9 (senbilan) bulan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 75

Atas perintah pengadilan, rekaman audio dan rekaman audiovisual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 dirampas untuk dimusnahkan, sedangkan perangkat atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 72 dirampas untuk negara.

Pasal 76

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 adalah kejahatan. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 adalah pelanggaran.

Undang-Undang Penyiaran: Bab 7 s/d 9

UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB VII
PERAN SERTA DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

Pasal 59

1. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam berkreasi, berkarya, dan berusaha, serta menyampaikan kontrol sosial dibidang penyiaran.

2. Peran serta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diwujudkan, antara lain dalam bentuk :

a. Mendirikan lembaga penyairan sesuai dengan ketantuan Undang-Undang ini;

b. Memberikan sumbangan pikiran dan gagasan bagi peningkatan dan pengembangan mutu siaran;

c. Mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan kepenyiaran;

d. Melakukan pendidikan dan pelatihan profesi kepenyiaran;

e. Mendirikan rumah produksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 60
Setiap pemilik pesawat penerima siaran televisi dan pemilik perangkat khusus penerima siaran televisi wajib membayar iuran penyiaran. Ketentuan lebih lanjut mengenai besar iuran penyiaran dan sanksi atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB VIII 
PENYERAHAN URUSAN

Pasal 61

1. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintah di bidang penyiaran kepada Pemerintah Daerah.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan sebagian urusan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB IX
PENYIDIKAN

Pasal 62

1. Selain penyidik pejabat negara Republik Indonesia juga pejabat pegawai sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan penyiaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang penyiaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

2. Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang penyiaran;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penyiaran;

c. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penyiaran berdasarkan bukti permulaan yang cukup;

d. meminta keterangan dan bahan bukti dari atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang penyiaran;

e. memeriksa orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi sehubungan dengan pemeriksaan tindak pidana di bidang penyiaran;

f. melakukan pemeriksaan atas alat-alat atau bahan dan barang lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang penyiaran;

g. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil tindak pidana yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang penyiaran;

h. mengambil sidik jari, memotret seseorang, dan meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penyiaran.

3. Pelaksaan lebih lanjut mengenai kewenagan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Penyiaran: Bab 6

UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN


Bagian Pertama 
Umum

Pasal 55

1. Pembinaan dan pengendalian penyiaran dilakukan sesuai dengan dasar, asas, tujuan, fungsi dan arah penyairan agar penyelenggaraan penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undanag ini dapat terwujud.

2. Pembinaan dan pengendalian penyiaran dilakukan untuk menjamin :

a. Kepentingan masyarakat sebagai kontributor, konsumen, dan pemakai penyiaran terlindungi;

b. Mutu keseluruhan aspek penyiaran semakin meningkat;

c. Iklim usaha dan kebebasan berkreasi penyelenggara penyiaran serta kebebasan berekspresi masyarakat secara bertanggung jawab semakin berkembang;

d. Jangkauan penyiaran semakin merata;

e. Daya saing penyiaran nasional semakin sehat.

3. Pembinaan dan pengendalian penyiaran dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan BP3N secara proaktif, intensif, terpadu dan berkesinambungan dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Bagian Kedua 
Peran Pemerintah Khusus dalam Pembinaan dan Pengendalian

Pasal 56

1. Dalam melakukan pembinaan dan pengendalian penyiaran, Pemerintah :

a. Menetapkan kebijakan penyairan;

b. Menyusun dan menetapkan peraturan yang terkait dengan penyiaran;

c. Merencanakan, menyusun dan menentukan peta lokasi penyiaran;

d. Menetapkan klasifikasi dan standar isi siaran;

e. Menghimpun, mengalokasikan, memanfaatkan dan mempertanggungjawabkan dana baik dari iuran penyiaran, kontribusi, biaya izin penyelenggaraan penyiaran, siaran ikan niaga Radio Republik Indonesia maupaun dari sumber usaha lain yang sah, yang dikelola oleh unit kerja tertentu;

f. Menerbitkan, memperpanjang, menangguhkan dan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran;

g. Merencanakan, membina, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang penyaiarn;

h. Menetapkan dan mengatur penggunaan teknologi sarana penyaiaran, distribusi dan penerima siaran dan jasa layanan informasi.

i. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti keluhan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran;

j. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan pihak terkait dalam bidang penyairan, baik di dalam maupaun di luar negeri.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penghimpunan, pengalokasian, pemanfaatan, dan pertanggungjawaban dana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga 
Peran Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional dalam Pembinaan dan Pengendalian

Pasal 57

1. Dalam mendampingi Pemerintah menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian penyiatan, Pemerintah membentuk BP3N yang mempunyai tugas dan fungsi :

a. Memberikan pertimbangan dalam perumusan kebijakan penyiaran;

b. Memberikan pertimbangan dalam penyusunan dan penetapan peraturan yang terjait dengan bidang penyiaran;

2. BP3N terdiri dari unsur pemerintah, ahli dan tokoh dalam bidang pendidikan, kebudayaan, agama, penyiaran dan tokoh di bidang lainnya yang dianggap perlu, serta wakil organisasi lembaga penyairan, organisasi penyiaran, dan organisasi kemasyarakatan yang terkait dengan kegiatan penyiaran.

3. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, BP3n membentuk komisi-komisi.

4. Ketua dipilih oleh seluruh anggota diantaranya anggota BP3N yang tidak menduduki jabatan di pemerintahan.

5. Untuk mendampingi Ketua BP3N ditunjuk Direjtur jenderal yang bertanggung jawab di bidang penyiatan sebagai sekretaris BP3N.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, sumberdana, serta sarana dan prasarana BP3N, diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat
Penyimpanan Bahan Siaran

Pasal 58

1. Lembaga penyiaran wajib menyimpan bahan siaran yang sudah disiarkan, baik berupa rekaman audio, rekaman video, gambar, maupun naskah.

2. Bahan siaran yang mengandung nilai sejarah, baik secara nasional maupun internasional, diserahkan kepada lembaga yang bertugas menyimpan arsip sesuai dengan ketantuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Bahan siaran yang mempunyai nilai penting bagi dunai penyairan nasional disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib simpan bahan siaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), diatur dengan Peraturan pemerintah.

Undang-Undang Penyiaran: Bab 5

UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB V
TATA KRAMA SIARAN


Bagian Pertama 
Umum

Pasal 52

1. Penyelenggaraan penyiaran wajib senantiasa berusaha agar pelaksanaan kegiatan penyiaran tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Siaran wajib dilaksanakan dengan menggunakan bahasa, tutur kata, dan sopan santun sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.


Bagian Kedua 
Kode Etik Siaran

Pasal 53

1. Penyelenggaraan penyiaran wjib menghormati dan menjunjung tinggi Kode Etik Siaran yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi lembaga penyiaran dan organisasi profesi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, sebagai dalam pelaksanaan siaran.

2. Untuk menjaga terlaksana dan dihormatinya Kode Etik Siaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 91), organisasi lembaga penyiaran dan organisasi profesi penyiaran membentuk Dewan Kehormatan Kode Etik Siaran.


Bagian Ketiga 
Wajib Ralat

Pasal 54

1. Lembaga penyiaran wajib meralat isi siran dan/atau berita apabila diketahui terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/atau berita.

2. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam berikutnya atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan /atua berita yang disanggah.

3. Ralat atau pembentulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (20), tidak membebaskan lembaga penyiaran dari tangung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai ralat atau pembetulan, diatur dengan keputusan Menteri.

Undang-Undang Penyiaran: Bab 4


UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB IV 
PELAKSANAAN SIARAN


Bagian Pertama 
Isi Siaran


Pasal 32


1. Sesuai dengan dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran bagaimana diatur dalam Undang-undang ini, isi siaran Lembaga Penyiaran Pemerintah dan Lembaga Penyiaran Swasta wajib lebih banyak memuat mata acara sairan produksi dalam negeri.

2. Mata acara siaran radio dan televisi dalam negeri, paling sedikit 70 (tujuh puluh) berbanding 30 (tiga puluh) dengan mata acara siaran yang berasal dari luar negeri.

3. Mata acara siaran dari luar negeri yang dapat disiarkan adalah yang tidak merugikan kepentingan nasional dan tata nilai yang berlaku di Indonesia, serta tidak merusak hubungan baik dengan negara sahabat.

4. Isi siaran yang disiarkan oelh Lembaga Penyiaran Pemerintah dan Lembaga Penyairan Swasta harus sesuai dengan standar isi siaran, terutama program produksi dalam negeri dan program anak.

5. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan pada anak dan remaja dengan menyiarkan acara pada waktu khusus.

6. Materi siaran yang akan disiarkan hendaknya mengandung unsur yang bersifat membangun moral dan watak bangsa, persatuan dan kesatuan, pemberdayaan nilai-nilai luhur budaya bangsa, disiplin, serta cinta ilmu pengetahuan dan teknologi.

7. Isi siaran yang mengandung unsur kekerasan dan sadisme,pornografasi, takhayul, perjudian, pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis, dan feodalistis, dilarang.

8. Isi siaran yang bertentangan dengan Pancasila, seperti halnya yang bertolak dari paham komunisme, Marxisme-Leninisme, dilarang.

9. Isi siaran dilarang memuat hl-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa atau memuat hal-hal yang patut dapat duduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.


Bagian Kedua 

Bahasa Siaran

Pasal 33

1. Bahasa pengantar utama dalam pelaksanakan saiaran adalah bahasa Indonesia.

2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan saiarn sejauh diperlukan untuk mendukung mata acara tertentu.

3. Bahasa Inggris hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara.

4. Bahasa asing lainnya di luar bahasa Inggris dapat dipergunakan sebagai bahasa pengantar hanya untuk mata acara pelajaran bahasa asing yang bersangkutan.

5. Bahasa isyarat dapat digunakan dala pelaksanaan siaran televii tertentu yang ditujukan kepada pemirsa tunarungu.

6. Mata acara berbahsa Inggris, dapat disiarkan dengan cara untuk radio diberi narasi dalam bahsa Indonesia, sedangkan utnuk televisi dapat diberi narasi atau teks bahsa Indonesia.

7. Mata acara yang menggunakan bahasa asing di luar mata acara sebgaimana dimaksud dalam ayat (6), kecuali bahasa yang serumpun dengan bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, wajib diberi narasi dalam bahsa Indonesia untuk radio, sedangkan untuk televisi wajib disulihsuarakan ke dalam bahasa Inggris dan diberi narasi atau teks bahasa Indonesia.

8. Mata acara berbahasa asing secara selektif dapat disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan keprluan mata acara tertentu.

9. Penggunaan bahasa asing dalam acara siaran agama disesuaikan dengan keperluan ajaran agama yang bersangkutan.

10. Bahasa asing dapat dipergunakan untuk mata acara siaran yang ditujukan ke luar negeri dalam acara siaran internasional sesuai dengan bahasa di wiliyah masyarakat sasaran.

11. Bahasa asing dalam mata acara siaran televisi yang berasal dari luar negri dapat disiarkan di dalam negeri melalui saluran audio terpisah, yang hanya dapat diterima masyarakat dengan pesawat penerima siaran televisi yang memiliki fasilitas untuk keprluan tersebut.

12. Penggunaan bahasa asing dalam mata acara siaran televisi dan siaran lainnya yang berasal dari luar negeri dan dipancarluaskan oleh Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, diatur lebih lanjut oleh Menteri.


Bagian Ketiga 

Sumber Acara Siaran

Pasal 34

1. Setiap lembaga penyiaran wajib mengutamkan mata acara yang bersumber dari dalam negeri, baik yang diproduksi sendiri maupun oleh rumah produksi di dalam negeri.

2. Mata acara yang berasal dari luar negeri diperlakukan sebagai pembanding atau pelengkap dalam presentase yang lebih rendah daripada mata acara produksi dalam negeri.

3. Setiap mata acara film atau rekaman video cerita yang akan disiarkan wajib terlebih dahulu memperoleh tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film.

4. Mata acara yang bersumber dari rumah produksi harus sesuai dengan standar isi siaran dan tidak boleh bertentangan dengan dasar, asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.

5. Rumah produksi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus berbadan hukum Indonesia dan memiliki izin dari Pemerintah, sesuai dengan peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Persenase mata acara televisi yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Swasta harus lebih besar bagi mata acara yang diproduksi oleh rumah produksi dalam negeri dibanding dengan mata acada yang diproduksi sendiri oleh Lembaga Penyiaran Swasta.

7. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, pemilikan, permodalan, dan keenagakerjaan bagi rumah produksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat 

Relai Siaran

Pasal 35

1. Siaran yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemerintah dalam bentuk siaran sentral wajib direlai oleh Lembaga Penyiaran Swasta.

2. Mata acara siaran sentral, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi acara kenegaraan, siaran berita pada jam-jam siaran tertentu, dan acara atau pengumuman penting yang perlu segera diketahui oleh masyarakat.

3. Lembaga penyiaran dalam negeri dilarang merilai siaran Lembaga Siaran Asing untuk dijadikan acara tetap.

4. Merilai siaran dari luar negeri dapat dilakukan secara tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat mendunia atau acara terpilih yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai relai siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima

Siaran Bersama

Pasal 36

1. Lembaga Penyiaran Pemerintah dan Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan siaran bersama.

2. Siaran bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikoordinasi oleh Lembaga Penyiaran Pemerintah.


Bagian Keenam

Rekaman Audio

Pasal 37

1. Tanggung jawab kelayakan siaran rekaman audio yang tidak diproduksi sendiri dibebankan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.

2. Lembaga penyiaran dilarang menyiarkan :

a. rekaman audio yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan/atau bertentangan dengan ajaran agama atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa yang memuat hal-hal yang patut dapat diduga mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa;

b. rekaman musik dan lagu dengan lirik yang mengungkapkan pornografi dan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyiaran rekaman audio diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh 

Hak Siar

Pasal 38

1. Lembaga penyiaran wajib memiliki hak siar untuk mata acara yang disiarkan.

2. Kepemilikan hak siar harus dicantumkan secara jelas dalam penjelasan mata acara.

3. Setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan Undang-undang tentang Hak Cipta.


Bagian Kedelapan

Klasifikasi Acara Siaran

Pasal 39

1. Lembaga siaran wajib membuat klasifikasi acara siaran untuk film, sinetron, dan/atau mata acara tertentu, baik melalui radio maupun televisi, yang disesuaikan dengan kelompok umur khalayak dan waktu penyiaran.

2. Klasifikasi acara siaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan baik pada saat diiklankan maupun pada waktu disiaran.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi acara siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Siaran Berita

Pasal 40

1. Lembaga Penyiaran Swasta dapat melaksanakan siaran berita.

2. Dalam melaksanakan siaran berita, Lembaga Penyiaran Swasta harus memenuhi standar berita dan mentaati Kode Etik Siaran serta Kode Etik Jurnalistik.

3. Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus yang menyelenggarakan siaran berlangganan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dilarang menyiarkan siaran berita yang dibuat sendiri.

4. Rumah produksi sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (4) dilarang memproduksi mata acara untuk keperluan siaran berita, kecuali berita tertentu seperti karangan khas (feature) atau hal-hal yang menarik perhatian orang (human interest).

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan siaran berita diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesepuluh

Siaran Iklan

Pasal 41

Siaran iklan terdiri dari siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.

Pasal 42

1. Materi siaran iklan niaga harus dibuatoleh perusahaan yang memiliki izin Pemerintah atau oleh lembaga penyiaran itu sendiri.

2. Siaran iklan niaga dilarang memuat :

a. promosi yang berjkaitan dengan ajaran suatau agama atau aliran tertentu, ajaran politik atau ideologi tertentu, promosi pribadi, golongan, atau kelompok tertentu;

b. promosi barang dan jasa yang berlebih-lebihan dan yang menyesatkan, baik mengenai mutu, asal, isi, ukuran, sifat, komposisi maupun keslianya;

c. iklan minuman keras dan sejenisnya, bahan/zat adiktif serta iklan yang menggambarkan penggunaan rokok;

d. hal-hal yang bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

3. Materi siaran iklan niaga harus dibuat dengan mengutamakan latar belakang alam Indonesia, artis, dan kerabat kerja produksi Indonesia.

4. Materi siaran iklan niaga yang disiarkan melalui televisi harus memperoleh tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film.

5. Materi siaran iklan niaga yang disiarkan melalui radio dipertanggungjawabkan oleh lembaga penyiaran yang bersangkutan.

6. Siaran iklan niaga untuk anak-anak harus memperhatikan dan mengikuti standar isi siaran televisi untuk anak-anak.

7. Siaran iklan niaga dilarang melebihi persentase waktu siaran iklan niaga yang ditetapkan, dan dilarang disisipkan pada acara siaran sentral, sebagaimana di maksud dalam Pasal 35 ayat (2), dan pada acara siaran agama.

8. Isi siaran iklan niaga harus sesuai dengan standar isi siaran.

9. Lembaga penyiaran mengutamakan untuk menerima dan menyiarakan ikaln niaga yang dipasang oleh perusahaan yang menjadi anggota asosiasi perusahaan periklanan yang diakui oleh Pemerintah.

Pasal 43

Siaran iklan layanan masyarakat wajib diberi porsi sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari waktu siaran iklan niaga di Lembaga Penyiaran Swasta, dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) menit dalam sehari bagi Lembaga Penyiaran Pemerintah yang disiarkan tersebar sepanjang waktu siaran.

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai siaran iklan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

Ketentuan mengenai penyelenggaraan siaran iklan oleh Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, diatur denga Peraturan Pemerintah.


Bagian Kesebelas

Pola Acara

Pasal 46

1. Lembaga penyiaran wajib menyusun pola acara.

2. Lembaga penyiaran wajib membuat penggolongan acara siaran yang memuat jenis, tujuan, dan maksud acara siaran tersebut.

3. Waktu penyiaran mata acra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disesuaikan dengan masyarakat sasaran, kecuali untuk acara-acara tertentu yang terpilih.

4. Pola acara yang dibuat oleh Lembaga Penyiaran swasta harus mendapat rekomendasi dari BP3N.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pola acara, penggolongan acara dan waktu penyiaran mata acara, diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua Belas

Wilayah Jangkauan Siaran

Pasal 47

1. Wilayah Jangakauan Siaran meliputi :

a. wilayah siaran nasional;

b. wilayah siaran regional;

c. wilayah siaran lokal;

d. wilayah siaran internasional.

2. Wilayah jangakuan siaran Lembaga Penyiaran Pemerintah ditentukan sebai berikut :

a. Stasiun penyiaran radio wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran nasional, wilayah siaran regional, wilayah siaran lokal, dan wilayah siaran internasional.

b. Stasiun penyiaran televisi wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran nasional, wilayah siaran regional, wilayah siaran lokal dan wilayah siaran internasional.

3. Wilayah jangkauan siaran Lembaga Penyiaran Swasta ditentukan sebagai berikut :

a. Stasiun penyiaran radio wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran lokal;

b. Stasiun penyiaran televisi wilayah jangkauan siarannya adalah siaran nasional.

4. Wilayah jangkauan siaran Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus ditentukan sebagai berikut :

a. untuk penyelenggaraan siaran radio atau televisi berlangganan melalui satelit, jangakauan siarannya meliputi seluruh wilayah Indonesia;

b. untuk penyelenggaraan siaran radio atau televisi berlangganan melalui pemancar terestrial, jangkauan siarannya meliputi wilayah di sekitar tempat penyelenggaran siarannya;

c. untuk penyelenggaraan siaran radio atau televisi berlangganan melalui kabel, jangakauan siarannya meliputi daerah sekitar tempat penyelenggaraan siarannya;

d. ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jangkauan Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Lembaga penyiaran dan Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus dilarang memperluas wilayah jangkauan siarannya melebihi ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin penyelenggaraan penyiaran yang dimilikinya.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jangkauan siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketiga Belas

Sarana Tehnik Siaran

Pasal 48

1. Setiap lembaga penyiaran wajib menggunakan saranan tehnik siaran yang sesuai dengan standar sistem dan memenuhi standar kinerja tehnik yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2. Setiap lembaga penyiaran wajib mengutamakan penggunaan sarana tehnik yang telah dibuat dalamnegeri, sejauh telah tebukti sesuai dengan standar sistem dan memenuhi standar kinerja tehnik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berdasrkan hasil pengujian lembaga yang berwenang.

3. Setiap lembaga penyiaran swasta wajib menyediakan sarana dan prasarana sendiri sehingga mampu melaksanakan siaran secara mandiri sebagaimana layaknya sebuah lembaga penyiaran.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana tehnik siaran, standar sistem, dan kinerja tehnik, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

1. Pemerintah mengatur penggunaan sistem pemancaran radio dan televisi dangan mempertimbangkan perkembangan tehnologi.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sistem pemancaran radio dan televisi, diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat Belas 

Perangkat Khusus Penerima Siaran

Pasal 50

1. Perangkat khusus penerima siaran sebagai alat bantu untuk penerimaan siaran dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk keperluan komersial dan nonkomersial.

2. Penggunaan perangkat khusus penerima siaran untuk tujuan komersial dapat dilakukan oleh badan usaha berbadab hukum Indonesia dengan ketentuan :

a. Memiliki izin yang diberikan Pemerintah;

b. Memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan perangkat khusus penerima siaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima Belas

Jasa Tambahan Penyiaran

Pasal 51

1. Pelaksanaan jasa tambahan penyiaran oleh Lembaga Penyiaran Swasta dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Pemerintah.

2. Pelaksanaan jasa tambahan penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menggunakan standar sistem dan memenuhi kinerja teknik yang ditetapkan Pemerintah.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan jasa tambahan penyiaran, standar sistem, dan kinerja teknik diatur dengan Peraturan Pemerintah.












Undang-Undang Penyiaran: Bab 3



UNDANG-UNDANG PENYIARAN
BAB III 
PENYELENGGARAAN PENYIARAN


Bagian Pertama
Umum

Pasal 7

1. Penyiaran dikuasai oleh Negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh Pemerintah.

2. Dalam melaksanakan pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) , Pemerintah didampingi oleh BP3N.

Pasal 8

1. Penyiaran diselenggarakan dalam satu Sistem Penyiaran Nasional.

2. Sistem Penyiaran Nasional merupakan pedoman dalam menyelenggarakan penyiaran.



Bagian Kedua 

Jenis Penyiaran

Pasal 9

1. Jenis penyiaran yang menjadi subsistem dari Sistem Penyiaran Nasional terdiri dari jasa penyiaran,jasa siaran, dan jasa layanan informasi yang menjangkau masyarakat luas sebagai berikut :

a. penyiaran radio atau televisi;

b. siaran radio dan/atau televisi berlangganan;

c. siaran untuk disalurkan sebagai materi mata acara penyiaran radio dan televisi atau materi saluran siaran berlangganan;

d. siaran audiovisual di lingkungan terbuka secara terbatas (closed circuit TV);

e. siaran melalui satelit dengan satu saluran atau lebih;

f. . siaran radio dan/atau televisi untuk lingkungan khalayak terbatas;

g. siaran audiovisual berdasarkan permintaan (video-on-demand services);

h. layanan informasi suara dengan teks (audiotext services);

i. layanan informasi gambar dengan teks (videotext services);

j. layanan informasi multimedia;

k. jasa penyiaran, jasa siaran,dan jasa layanan informasi lainnya.

2. Jenis siaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Pemerinah dan Lembaga Penyiaran Swasta.

3. Jenis penyiaran sebagai dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf k, diselenggarakan oleh Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus.


Bagian Ketiga

Lembaga Penyiaran Pemerintah

Pasal 10


1. Lembaga Penyiaran Pemerintah adalah suatu unit kerja organik di bidang penyiaran di lingkungan Departemen Penerangan, yang diberi wewenang khusus, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri, serta berkedudukan di ibukota negara, yang stasiun penyiarannya berada di ibu kota negara, ibu kota propinsi, dan ibu kota kabupaten/kotamadya yang dianggap perlu.

2. Lembaga Penyiaran Pemerintah mengutamakan usaha pemberian jasa penyiaran kepada seluruh lapisan masyarakat secara merata di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

3. Lembaga Penyiaran Pemerintah terdiri dari Radio Republik Indonesia, Televisi Republik Indonesia, Radio Siaran Internasional Indonesia, dan Televisi Siaran Internasional Republik Indonesia yang dikelola secara profesional.

4. Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia masing-masing menyelenggarakan berbagai acara siaran melalui beberapa programa/saluran, satu di antaranya merupakan saluran programa/saluran pendidikan.

5. Lembaga Penyiaran Pemerintah dapat menyelenggarakan siaran berlangganan dan jasa tambahan penyiaran radio data melalui siaran radio (radio data services) dan informasi teks melalui siaran televisi (teletext).

6. Lembaga Penyiaran Pemerintah dapat mengadakan kerja sama dengan pihak swasta nasional di bidang penyiaran atau bidang usaha lain yang dapat mendukung kegiatan penyiaran.

7. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Pemerintah diperolah dari :

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);

b. alokasi dana dari iuran penyiaran, kontribusi, dan biaya izin penyelenggara penyiaran;

c. alokasi dana dari siaran iklan niaga Radio Republik Indonesia; dan

d. usaha-usaha lain yang sah.

8. Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keempat

Lembaga Penyiaran Swasta

Pasal 11


1. Lembaga Penyiaran Swasta adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya khusus menyelenggarakan siaran radio atau siaran televisi.

2. Lembaga Siaran Swasta didirikan oleh warga negara atau badan hukum Indonesia yang tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam kegiatan yang menentang Pancasila.

3. Lembaga Penyiran Swasta dilarang didirikan semata-mata hanya dikhususkan untuk menyiarakan mata acara aliran politik, ideologi, agama, aliran tertentu, perseorangan, atau golongan tertentu.

Pasal 12

1. Lembaga Penyiaran Swasta didirikan dengan modal yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang seluruh modal sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

2. Penambahan atau pemenuhan modal berikutnya bagi pengembangan Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat dilakukan oleh lembaga penyiaran yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah.

3. Penambahan atau pemenuhan kebutuhan modal melalui pasar modal dilalkukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 13

1. Pemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta, baik yang mengarah pada pemutusan di satu oarang atau di satu badan hukum maupun yang mengarah pada pemusatan di satu tempat atau di satu wilayah, dilarang.

2. Kepemilihan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan perusahaan media cetak dan Lembaga Penyiaran Swasta dengan Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.

3. Karyawan di lingkungan Lembaga Penyiaran Swasta diberi hak memiliki saham yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilikan dan kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

Lembaga Penyiaran Swasta dilarang menerima bantuan modal dari pihak asing.

Pasal 15

1. Sumber pembiayaan lembaga penyiaran swasta diperoleh dari siaran iklan niaga dan usaha-usaha lain yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

2. Lembaga penyiaran swasta dilarang memungut pembayaran wajib, kecuali lembaga yang menelenggarakan siaran berlangganan.

Pasal 16

1. Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan siran radio didirikan di lokasi tertentu dari suatu wilayah, sesuai dengan peta lokasi stasiun penyiaran radio, yang jumlahnya ditetapkan oleh Pemerintah.

2. Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan siaran televisi didirikan di ibu kota negara dan jumlahnya ditetapkan oleh Pemerintah.

3. Lembaga Penyiaran Swasta hanya dapat menyelenggarakn siaran dengan satu programa/saluran siaran.

4. Dalam keadaan terntentu Lembaga Penyiaran Swasta dapat ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendukung penyelenggaraan siaran internasional.

Pasal 17

1. Lembaga penyiran swasta wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran dari Pemerintah.

2. Izin penyelenggaraan radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan izin penyelenggaraan penyiaran televisi di berikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat di perpanjang.

3. Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berdasarkan wilayah jangkauan siaran, dan khusus bagi penyiaran radio selain wilayah jangkauan siaran juga memperhatikan format siaran.

4. Lembaga Penyiran Swasta wajib membayar biaya izin penyelenggaraan penyiaran dan kontribusi kepada Pemerintah, khusus Lembaga Penyiaran Swasta radio tidak wajib membayar kontribusi.

5. Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), syarat dan tata cara perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) serta biaya izin dan kontribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

1. Izin penyelenggaraan penyiaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), termasuk pengggunaan frekwensi, sarana pemancaran, dan sarana tranmisi dikeluarkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instasi terkait.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

1. Lembaga Penyiaran Swasta menetapkan pemimpin dan penanggung jawab penyelenggara penyiaran yang mencakup :

a. pemimpin umum; penanggung jawab siaran;

b. penanggung jawab pemberitaan; penanggung jawab tehnik;

c. penanggung jawab usaha.

2. Khusus bagi Lembaga Penyiaran Swasta radio, pemimpin dan penaggung jawab penyelenggara penyiaran sekurang-kurangnya terdiri dari :

a. pemimpin umum;

b. penanggung jawab siaran;

c. penanggung jawab pemberitaan.

3. Pemimpin dan penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia yang tidak pernah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan dalam kegiatan yang menentang Pancasila.

4. Pertanggungjawaban hukum pemimpin umum Lembaga Penyiaran Swasta dapat dilimpahkan secara tertulis kepada penanggung jawab, sesuai dengan bidang pertanggungjawaban masing-masing.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, tanggung jawab, dan pelimpahan tanggung jawab pemimpin dan penanggung jawab penyelenggara penyiaran siaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kelima 

Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus

Pasal 20


Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus meliputi :

a. penyelenggara siaran berlangganan melalui satelit;

b. penyelenggara siaran berlangganan melalui pemancaran terestrial;

c. penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel;

d. penyelenggara siaran yang khusus untuk disalurkan ke saluran radio atau televisi berlangganan atau ke penyelenggara penyiaran untuk menjadi bagian dari siaran;

e. penyelenggara jasa audiovisual secara terbatas di lingkungan terbuka (closed circuit TV);

f. penyalur siaran melalui satelit dengan satu saluran atau lebih;

g. penyalur siaran dalam lingkungan terbatas;

h. penyelenggara jasa audiovisual berdasarkan permintaan ( vidio-on-demand services );

i. penyelenggara jasa layanan informasi suara dengan teks ( audio text services );

j. penyelenggara jasa layanan informasi gambar dengan teks ( vidiotext srvices );

k. penyelenggara jasa layanan informasi multimedia;

l. Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus lainnya.

Pasal 21

Lembaga Penyelengara Siaran Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, harus berbadan hukum Indonesia dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Menteri.

Pasal 22

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal13, Pasal 14, Pasal 17 ayat (4) dan (5) serta Pasal 18, berlaku pula bagi Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus.

2. Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus seperti tersebut dalam Pasal 20 wajib menyelenggarakan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan.

Pasal 23

1. Penyelenggara siaran berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, harus menggunakan sarana pemancar ke satelit (uplink) yang berlokasi di Indonesia dan mengutamakan penggunaan satelit Indonesia.

2. Penyelenggara siaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam menyelenggarakan siarannya mengutamakan masyarakat di wilayah Indonesia sebagai sasarannya.

3. Penyelengara siaran, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menjamin agar siarannya hanya dierima oleh pelanggan.

Pasal 24

1. Penyelenggara siaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dan huruf c, dalam menyelenggarakan siarannya harus menyiarkan 1 (satu) siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri, sekurang-kurangnya 1 (satu) siaran produksi dalam negeri.

2. Penyelenggara siaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, dalam menyelenggarakan siarannya harus menyiarkan 1 (satu) siaran produksi dalam negeri berbanding 5 (lima) siaran produksi luar negeri, sekurang-kurangnya 1 (satu) produksi dalam negeri.

3. Perbandingan siaran produksi dalam negeri dengan siaran produksi luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dapat ditinjau ulang oleh Pemerintah.

Pasal 25

Penyelenggara siaran berlangganan melalui kabel, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, harus menyalurkan siaran televisi baik dari Lembaga Penyiaran Pemerintah maupun lembaga penyiaran swasta, yang dapat diterima di wilayah lokal, tempat lembaga yang bersangkutan melakukan kegiatan siaran berlangganan.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, syarat dan tata cara memperoleh izin serta biaya perizinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22, dan jangka waktu berlakunya izin serta perpanjangan izin diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam 

Lembaga Penyiaran Asing

Pasal 27

1. Lembaga Penyiaran Asing dilarang didirikan di Indonesia.

2. Lembaga Penyiaran Asing hanya dapat melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dan/atau kegiatan jurnalistik di Indonesia dengan izin Pemerintah.

3. Lembaga Penyiaran asing yang melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dari Indonesia dapat membawa perangkat pengiriman siaran ke satelit setelah memperoleh izin Pemerintah.

4. Lembaga Penyiaran Asing dapat membuka perwakilan atau menempatkan koresponden untuk melakukan kegiatan jurnalistik di indonesia dengan izin Pemerintah.

5. Lembaga Penyiaran Asing dan kantor berita asing yang melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam bentuk rekaman video.

6. Lembaga Penyiaran Asing yang menyewa fasilitas transmisi ke satelit dan transponder satelit Indonesia untuk siaran internasional dapat melakukan pengiriman siarannya dari Indonesia berdasarkan izin Pemerintah.

7. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan dan kegiatan Lembaga Penyiaran Asing di Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh 

Hubungan Antar lembaga Penyiaran

Pasal 28

Lembaga-lembaga penyiaran wajib menumbuhkan dan mengembangkan kerjasama serta iklim usaha yang sehat untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya persaingan yang dapat merugikan kepentingan siaran bagi masyarakat.

Pasal 29

1. Dalam rangka menumbuhkan mengembangkan kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, lembaga-lembaga penyiaran dan para praktisi penyiaran, masing-masing membentuk wadah kerjasama lembaga dan wadah kerjasama profesi.

2. Lembaga-lembaga penyiaran wajib bergabung dalam wadah kerjasama lembaga dan par praktisi profesi penyiaran wajib bergabung dlam wadah kerja sama profesi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 30

1. Pemerintah mengatur dan mengkoordinasikan kerja sama antar lembaga penyairan di dalam negeri dan antara lembaga penyiaran di dalam negeri dengan organisasi internasional atau lembaga penyiaran di luar negeri yang menyangkut kepentingan bersama.

2. Lembaga Penyiaran Pemerintah dan Lembaga Penyiaran Swasta dapat mewakili Indonesia pada forum, badan, atau organisasi penyaiarn internasional.

3. Lembaga Penyiaran Swasta dapat menjadi peserta atau anggota pada forum, badan, atau organisasi penyiaran internasional atas izin Pemerintah.

Pasal 31

1. Dengan izin Pemerintah, kerja sama pemancaran siaran, teknik, dan jasa dengan Lembaga Penyiaran Asing di luar negeri dilakukan atas dasar prinsip saling menguntungkan.

2. Lembaga Penyiaran Pemerintah dapat melakukan kerjasama pemancaran siaran luar negeri dengan Lembaga Penyiaran Asing guna saling membantu untuk saling meningkatkan kualitas penerimaan dan jangkauan siaran di wilayah sasaran khalayak kedua belah pihak.